Senin, 30 November 2009
Kota Surabaya
Kota Surabaya adalah ibukota Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Dengan jumlah penduduk metropolisnya yang mencapai 3 juta jiwa, Surabaya merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan Indonesia timur. Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah.
Kata Surabaya konon berasal dari cerita mitos pertempuran antara sura (ikan hiu) dan baya (buaya).
Meskipun Jawa adalah suku mayoritas (83,68%), tetapi Surabaya juga menjadi tempat tinggal berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk suku Madura (7,5%), Tionghoa (7,25%), Arab (2,04%), dan sisanya merupakan suku bangsa lain atau warga asing.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surabaya
Sumber Gambar:
http://blogsurabaya.files.wordpress.com/2007/08/surabaya.jpg
Menolak Surabaya Menjadi Jakarta Kedua
Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia bukan tidak mungkin akan menjadi Jakarta kedua dengan kompleksitas permasalahan yang tinggi. Perencanaan pembangunan yang tak ramah lingkungan dan terkesan amburadul bahkan semrawut menghasilkan kemacetan, kekumuhan, keruwetan yang pada prosesnya menghasilkan kebijakan tambal sulam dan tumpang tindih. Kesemuanya berujung pada kerawanan sosial yang berpotensi melahirkan psikologis sosial masyarakat yang sakit.
Surabaya sebagai pusat ekonomi Indonesia bagian timur melalui pemerintah kotanya mencanangkan ekonomi sebagai ujung tombak dengan titik berat di sektor perdagangan, industri dan jasa. Diterima atau tidak, hal ini berimplikasi besar pada pertumbuhan penduduk Surabaya, migrasi besar-besaran dari daerah sekitarnya seperti mimpi desa yang mengagungkan Jakarta sebagai sarana meraih mimpi kesejahteraan ekonomi.
Sebelum jauh melangkah, sebenarnya tema ini terlalu besar untuk tulisan sependek ini, karena itu butuh pembahasan yang berkesinambungan dari segala sisi dalam memotret Surabaya agar tidak menjadi Jakarta kedua.
Sebagai gambaran, pada tayangan news.com, di Metro TV yang lupa edisi tayangnya kapan, menyoal Jakarta yang gencar melakukan razia KTP yang menurut pengakuan PEMDA DKI merupakan pemeriksaan reguler untuk pendatang dari luar Jakarta yang meningkat drastis setiap usai lebaran. Salah satu panelis, yang juga lupa namanya, menyatakan bahwa Jakarta terlalu serakah untuk sekedar meredistribusi rejeki ke daerah atau kota lain dan itu menjadikannya magnet terbesar bagi para pendatang untuk menyerbu Jakarta. Sekedar diketahui, peredaran uang di Indonesia 60% berada di Jakarta, sisanya dibagi ke seluruh wilayah Indonesia. Iklim ekonomi yang tidak sehat menurut para pakar ekonomi.
Daya tarik magnet yang luar biasa inilah yang perlu mendapat perhatian serius. Mengapa? Bisa jadi ketika wacana pemisahan pusat ekonomi dengan pusat pemerintahan direalisasi, Surabaya bukan tidak mungkin menjadi pilihan yang paling realistis. Berkiblat ke Amerika yang selama ini menjadi acuan primer, pusat pemerintahan berada di Washington D.C., kota yang relatif sepi dibandingkan dengan pusat ekonomi seperti New York. Mengapa dipisah? Sepatutnya dipisah karena menghindari seminimal mungkin kepentingan ekonomi mempengaruhi keputusan politik. Kenyataan yang terjadi di Indonesia menunjukkan dengan gamblang bagaimana produk-produk dan keputusan politik, hukum dibuat karena intervensi kepentingan ekonomi yang demikian dominan.
Apa relevansinya dengan Surabaya? Tak bisa dipungkiri, Surabaya merupakan pusat ekonomi kedua, terutama untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Tanpa wacana pemisahan di atas saja, Surabaya sudah memiliki kompleksitas masalah yang mendekati Jakarta, terlebih jika wacana tersebut terjadi, dan Surabaya menjadi pusat ekonomi utama di Indonesia, bisa dibayangkan bagaimana keadaan Surabaya.
Untuk menghindari Surabaya menjadi Jakarta kedua, sebaiknya Surabaya segera berbenah, target-target pembangunan yang dititikberatkan pada sektor perdagangan, industri dan jasa jangan sampai mengabaikan tata kota dan lingkungan, tak mengorbankan kesejahteraan dan kenyamanan warga untuk pencapaian target angka-angka pertumbuhan ekonomi daerah. Surabaya harus lebih arif dalam meredistribusi rejeki ke daerah-daerah lain agar tidak menjadi magnet bagi para pendatang. Pemerintah daerah tingkat I harus lebih proaktif menggali potensi daerah-daerah yang layak dijadikan kantong ekonomi baru untuk menggiatkan ekonomi di daerah juga untuk menghambat arus urbanisasi.
Bukankah UUD mengamanatkan setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan penghidupan yang layak? Mari dengan arif meredistribusi rejeki.
Sumber :
Gempur
http://tugupahlawan.com/247/menolak-surabaya-menjadi-jakarta-kedua/
Surabaya sebagai pusat ekonomi Indonesia bagian timur melalui pemerintah kotanya mencanangkan ekonomi sebagai ujung tombak dengan titik berat di sektor perdagangan, industri dan jasa. Diterima atau tidak, hal ini berimplikasi besar pada pertumbuhan penduduk Surabaya, migrasi besar-besaran dari daerah sekitarnya seperti mimpi desa yang mengagungkan Jakarta sebagai sarana meraih mimpi kesejahteraan ekonomi.
Sebelum jauh melangkah, sebenarnya tema ini terlalu besar untuk tulisan sependek ini, karena itu butuh pembahasan yang berkesinambungan dari segala sisi dalam memotret Surabaya agar tidak menjadi Jakarta kedua.
Sebagai gambaran, pada tayangan news.com, di Metro TV yang lupa edisi tayangnya kapan, menyoal Jakarta yang gencar melakukan razia KTP yang menurut pengakuan PEMDA DKI merupakan pemeriksaan reguler untuk pendatang dari luar Jakarta yang meningkat drastis setiap usai lebaran. Salah satu panelis, yang juga lupa namanya, menyatakan bahwa Jakarta terlalu serakah untuk sekedar meredistribusi rejeki ke daerah atau kota lain dan itu menjadikannya magnet terbesar bagi para pendatang untuk menyerbu Jakarta. Sekedar diketahui, peredaran uang di Indonesia 60% berada di Jakarta, sisanya dibagi ke seluruh wilayah Indonesia. Iklim ekonomi yang tidak sehat menurut para pakar ekonomi.
Daya tarik magnet yang luar biasa inilah yang perlu mendapat perhatian serius. Mengapa? Bisa jadi ketika wacana pemisahan pusat ekonomi dengan pusat pemerintahan direalisasi, Surabaya bukan tidak mungkin menjadi pilihan yang paling realistis. Berkiblat ke Amerika yang selama ini menjadi acuan primer, pusat pemerintahan berada di Washington D.C., kota yang relatif sepi dibandingkan dengan pusat ekonomi seperti New York. Mengapa dipisah? Sepatutnya dipisah karena menghindari seminimal mungkin kepentingan ekonomi mempengaruhi keputusan politik. Kenyataan yang terjadi di Indonesia menunjukkan dengan gamblang bagaimana produk-produk dan keputusan politik, hukum dibuat karena intervensi kepentingan ekonomi yang demikian dominan.
Apa relevansinya dengan Surabaya? Tak bisa dipungkiri, Surabaya merupakan pusat ekonomi kedua, terutama untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Tanpa wacana pemisahan di atas saja, Surabaya sudah memiliki kompleksitas masalah yang mendekati Jakarta, terlebih jika wacana tersebut terjadi, dan Surabaya menjadi pusat ekonomi utama di Indonesia, bisa dibayangkan bagaimana keadaan Surabaya.
Untuk menghindari Surabaya menjadi Jakarta kedua, sebaiknya Surabaya segera berbenah, target-target pembangunan yang dititikberatkan pada sektor perdagangan, industri dan jasa jangan sampai mengabaikan tata kota dan lingkungan, tak mengorbankan kesejahteraan dan kenyamanan warga untuk pencapaian target angka-angka pertumbuhan ekonomi daerah. Surabaya harus lebih arif dalam meredistribusi rejeki ke daerah-daerah lain agar tidak menjadi magnet bagi para pendatang. Pemerintah daerah tingkat I harus lebih proaktif menggali potensi daerah-daerah yang layak dijadikan kantong ekonomi baru untuk menggiatkan ekonomi di daerah juga untuk menghambat arus urbanisasi.
Bukankah UUD mengamanatkan setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan penghidupan yang layak? Mari dengan arif meredistribusi rejeki.
Sumber :
Gempur
http://tugupahlawan.com/247/menolak-surabaya-menjadi-jakarta-kedua/
Menatap Surabaya Lebih Dewasa
Sebutan sebagai kota jasa dan perdagangan yang dilekatkan pada Kota Surabaya memang bukan tanpa dasar, Surabaya memiliki potensi dan kemampuan memperkuat perekonomian kota melalui sektor perdagangan dan jasa. Pada tahun 2005 kontribusi sektor perdagangan dan jasa mencapai 45% dari total output ekonomi Surabaya. Jika kita amati pertumbuhan sub sektor ekonominya maka pertumbuhan sub sektor perdagangan mencapai 11.64 %, sub sektor komunikasi 11.24 % dan sub sektor sewa bangunan mencapai angka pertumbuhan 20.61 %. Pertumbuhan sub sektor ini tentunya menjadi tanda titik-titik potensi ekonomi Surabaya.
Berdasarkan data SE 2006 BPS, 48.5 % unit usaha di Surabaya adalah non permanen, dengan distribusi skala usaha, 99 % adalah usaha kecil dan mikro. Berdasarkan kategori usaha maka dapat kita lihat bahwa 65.53 % usaha kecil dan 40.64 % usaha mikro bergerak pada sektor perdagangan.
Munculnya berbagai potensi UMKM di bidang kerajinan yang memanfaatkan bahan daur ulang, pemanfaatan bahan baku natural, serta upaya dalam pengembangan produk makanan berbasiskan sayuran dan buah hidroponik menambah kekayaan produksi lokal kota yang mampu memberi warna unik pada kemampuan pengembangan ekonomi.
Ditinjau secara demografi, jumlah penduduk Surabaya, berdasarkan survey BPS tahun 2005 mencapai 2.7 juta jiwa dengan imigran mencapai 32 ribu jiwa. Surabaya dengan 5 wilayah administratif, secara geografis, wilayah padat penduduk ini mustinya memiliki kemampuan saling mendukung dan dengan nilai historis yang ada sepatutnya juga mampu menjadi kekuatan utama kota.
Kesejahteraan penduduk kota Surabaya dapat kita amati dari proporsi pengeluaran rumah tangga dan angka konsumsi dasar. Proporsi pengeluaran rumah tangga non makanan di Kota Surabaya pada tahun 2005 mencapai 60%, angka ini menunjukan bahwa tingkat kehidupan masyarakat semakin baik dengan makin terpenuhinya kebutuhan sekunder dan tersier.
Angka konsumsi dasar penduduk Surabaya dalam Survey Biaya Hidup pada tahun 2007 untuk kelompok pendidikan rekreasi dan olahraga menunjukan bahwa jasa pendidikan mencapai 71 % dari konsumsi dasar, meningkat cukup signifikan dibandingkan tahun 2002 yang hanya 52 %. Sedangkan rekreasi hanya mendapat porsi 16 %, dimana pada tahun 2002 mencapai 26 %. Hal ini menunjukkan biaya pendidikan masih menjadi beban utama. Sehingga bertambahnya taman kota dengan dilengkapi sarana mainan anak-anak yang disediakan gratis, mungkin langkah tepat agar keseimbangan ini terjadi.
Namun tingkat capaian pertumbuhan ekonomi, tingginya potensi UMKM, belum tentu dirasakan sama disemua kawasan di Surabaya. Dengan kata lain, masih adakah disparitas yang terjadi. Mari kita amati satu per satu.
Surabaya pusat merupakan wilayah terpadat dengan rata-rata jumlah penduduk di atas 26 ribu jiwa per km2. Kawasan ini masih kental dengan nuansa Surabaya lama (old Surabaya). Kantor pemkot, Tugu pahlawan, kantor pos besar, Bank Indonesia, dan yang menjadi kenangan dalam lagu “Rek Ayo Rek..”, Siola dan kawasan tunjungan. Kawasan ini malam hari menjadi kawasan PKL yang cukup ramai, 28 % PKL di surabaya berada di area ini. Apalagi tahun 2006 – 2008 pemkot Surabaya semakin mempercantik kota dengan air mancur dan taman bunga yang dihiasi lampu taman yang berkelap kelip. Berdasarkan distribusi PKL dalam kelompok makanan dan minuman, 24 % PKL makanan dan minuman di Surabaya ada di wilayah Surabaya Pusat.
Kawasan kedua, yang meruapakan kawasan terpadat kedua setelah Surabaya Pusat adalah Surabaya Selatan. Kawasan ini memiliki jumlah penduduk terbanyak di Surabaya yang mencapai 730 ribu jiwa. Kontribusi sektor jasa mencapai 33 % dari seluruh output ekonomi di surabaya selatan diikuti oleh sektor perdagangan (30%) dan industri (20 %). Surabaya selatan ini menjadi gerbang masuk utama dari arah sidoarjo dan mojokerto. Jumlah kendaraan masuk dari sidoarjo ke Surabaya rata-rata per hari hingga mencapai 10 ribu kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat.
Kawasan ketiga yang merupakan kawasan dengan area terluas adalah wilayah Surabaya Barat yang mencapai 118 Km2. Dengan penduduk hanya mencapai 375 ribu jiwa membuat kawasan ini menjadi kawasan jarang penduduk untuk ukuran Surabaya. Rata-rata tiap km2 dihuni oleh 3 ribu jiwa. Dibandingkan area lain, di Surabaya Barat lapangan usaha pertanian mencapai 6 %. Sedangkan lapangan usaha dominan adalah sektor industri yang mencapai 29 % dan perdagangan 28 %. Kawasan Surabaya Barat merupakan kawasan dengan jumlah PKL kelompok makanan dan minuman paling kecil di Surabaya.
Kawasan keempat adalah kawasan Surabaya Timur. PKL Kelompok makanan dan minuman paling banyak berada di wilayah ini yaitu 30 % dari seluruh PKL di Surabaya. Wilayah ini merupakan wilayah dengan jumlah penduduk tinggi, peringkat kedua setelah Surabaya Pusat. Namun dengan wilayah yang luas mencapai 91 km2, kawasan Surabaya Timur mencapai rata-rata 7.785 jiwa per km2. Penyebaran fasilitas sekolah yang banyak di Surabaya Timur membuat persentase kegiatan utama penduduk kota untuk sekolah tertinggi dibandingkan area lain yaitu mencapai 18 %. Surabaya Timur juga memiliki sarana kesehatan yang lebih lengkap. 44 % apotik, 28 % klinik kesehatan, 29 % optik, 27 % puskesmas dan 33 % praktek dokter berada di Surabaya Timur.
Kawasan ke-lima adalah kawasan Surabaya Utara, kawasan dengan penduduk yang bekerja pada lapangan usaha angkutan dan komunikasi cukup dominan. Kawasan ini merupakan kawasan gerbang keluar masuk Surabaya melalui laut. Selain lapangan usaha angkutan, sektor perdagangan juga tinggi yaitu mencapai 35 % . Dibandingkan wilayah lain, kawasan Surabaya Utara memiliki tingkat kesejahteraan lebih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan angka proporsi pengeluaran untuk non makanan yang hanya 43 %, pendidikan yg ditamatkan pekerja yg belum tamat SD proporsinya mencapai 16.7 % dan yang lulusan akademi / PT hanya 4.64 %.
Dengan kekuatan dan kelemahan yang ada di Surabaya ini, mampukah Surabaya lebih dewasa, tetap menjadi kota pahlawan, kota kenangan. [Unung Istopo]
Sumber :
http://enciety.com/blog/2008/10/29/menatap-surabaya-lebih-dewasa/
29 Oktober 2008
Berdasarkan data SE 2006 BPS, 48.5 % unit usaha di Surabaya adalah non permanen, dengan distribusi skala usaha, 99 % adalah usaha kecil dan mikro. Berdasarkan kategori usaha maka dapat kita lihat bahwa 65.53 % usaha kecil dan 40.64 % usaha mikro bergerak pada sektor perdagangan.
Munculnya berbagai potensi UMKM di bidang kerajinan yang memanfaatkan bahan daur ulang, pemanfaatan bahan baku natural, serta upaya dalam pengembangan produk makanan berbasiskan sayuran dan buah hidroponik menambah kekayaan produksi lokal kota yang mampu memberi warna unik pada kemampuan pengembangan ekonomi.
Ditinjau secara demografi, jumlah penduduk Surabaya, berdasarkan survey BPS tahun 2005 mencapai 2.7 juta jiwa dengan imigran mencapai 32 ribu jiwa. Surabaya dengan 5 wilayah administratif, secara geografis, wilayah padat penduduk ini mustinya memiliki kemampuan saling mendukung dan dengan nilai historis yang ada sepatutnya juga mampu menjadi kekuatan utama kota.
Kesejahteraan penduduk kota Surabaya dapat kita amati dari proporsi pengeluaran rumah tangga dan angka konsumsi dasar. Proporsi pengeluaran rumah tangga non makanan di Kota Surabaya pada tahun 2005 mencapai 60%, angka ini menunjukan bahwa tingkat kehidupan masyarakat semakin baik dengan makin terpenuhinya kebutuhan sekunder dan tersier.
Angka konsumsi dasar penduduk Surabaya dalam Survey Biaya Hidup pada tahun 2007 untuk kelompok pendidikan rekreasi dan olahraga menunjukan bahwa jasa pendidikan mencapai 71 % dari konsumsi dasar, meningkat cukup signifikan dibandingkan tahun 2002 yang hanya 52 %. Sedangkan rekreasi hanya mendapat porsi 16 %, dimana pada tahun 2002 mencapai 26 %. Hal ini menunjukkan biaya pendidikan masih menjadi beban utama. Sehingga bertambahnya taman kota dengan dilengkapi sarana mainan anak-anak yang disediakan gratis, mungkin langkah tepat agar keseimbangan ini terjadi.
Namun tingkat capaian pertumbuhan ekonomi, tingginya potensi UMKM, belum tentu dirasakan sama disemua kawasan di Surabaya. Dengan kata lain, masih adakah disparitas yang terjadi. Mari kita amati satu per satu.
Surabaya pusat merupakan wilayah terpadat dengan rata-rata jumlah penduduk di atas 26 ribu jiwa per km2. Kawasan ini masih kental dengan nuansa Surabaya lama (old Surabaya). Kantor pemkot, Tugu pahlawan, kantor pos besar, Bank Indonesia, dan yang menjadi kenangan dalam lagu “Rek Ayo Rek..”, Siola dan kawasan tunjungan. Kawasan ini malam hari menjadi kawasan PKL yang cukup ramai, 28 % PKL di surabaya berada di area ini. Apalagi tahun 2006 – 2008 pemkot Surabaya semakin mempercantik kota dengan air mancur dan taman bunga yang dihiasi lampu taman yang berkelap kelip. Berdasarkan distribusi PKL dalam kelompok makanan dan minuman, 24 % PKL makanan dan minuman di Surabaya ada di wilayah Surabaya Pusat.
Kawasan kedua, yang meruapakan kawasan terpadat kedua setelah Surabaya Pusat adalah Surabaya Selatan. Kawasan ini memiliki jumlah penduduk terbanyak di Surabaya yang mencapai 730 ribu jiwa. Kontribusi sektor jasa mencapai 33 % dari seluruh output ekonomi di surabaya selatan diikuti oleh sektor perdagangan (30%) dan industri (20 %). Surabaya selatan ini menjadi gerbang masuk utama dari arah sidoarjo dan mojokerto. Jumlah kendaraan masuk dari sidoarjo ke Surabaya rata-rata per hari hingga mencapai 10 ribu kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat.
Kawasan ketiga yang merupakan kawasan dengan area terluas adalah wilayah Surabaya Barat yang mencapai 118 Km2. Dengan penduduk hanya mencapai 375 ribu jiwa membuat kawasan ini menjadi kawasan jarang penduduk untuk ukuran Surabaya. Rata-rata tiap km2 dihuni oleh 3 ribu jiwa. Dibandingkan area lain, di Surabaya Barat lapangan usaha pertanian mencapai 6 %. Sedangkan lapangan usaha dominan adalah sektor industri yang mencapai 29 % dan perdagangan 28 %. Kawasan Surabaya Barat merupakan kawasan dengan jumlah PKL kelompok makanan dan minuman paling kecil di Surabaya.
Kawasan keempat adalah kawasan Surabaya Timur. PKL Kelompok makanan dan minuman paling banyak berada di wilayah ini yaitu 30 % dari seluruh PKL di Surabaya. Wilayah ini merupakan wilayah dengan jumlah penduduk tinggi, peringkat kedua setelah Surabaya Pusat. Namun dengan wilayah yang luas mencapai 91 km2, kawasan Surabaya Timur mencapai rata-rata 7.785 jiwa per km2. Penyebaran fasilitas sekolah yang banyak di Surabaya Timur membuat persentase kegiatan utama penduduk kota untuk sekolah tertinggi dibandingkan area lain yaitu mencapai 18 %. Surabaya Timur juga memiliki sarana kesehatan yang lebih lengkap. 44 % apotik, 28 % klinik kesehatan, 29 % optik, 27 % puskesmas dan 33 % praktek dokter berada di Surabaya Timur.
Kawasan ke-lima adalah kawasan Surabaya Utara, kawasan dengan penduduk yang bekerja pada lapangan usaha angkutan dan komunikasi cukup dominan. Kawasan ini merupakan kawasan gerbang keluar masuk Surabaya melalui laut. Selain lapangan usaha angkutan, sektor perdagangan juga tinggi yaitu mencapai 35 % . Dibandingkan wilayah lain, kawasan Surabaya Utara memiliki tingkat kesejahteraan lebih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan angka proporsi pengeluaran untuk non makanan yang hanya 43 %, pendidikan yg ditamatkan pekerja yg belum tamat SD proporsinya mencapai 16.7 % dan yang lulusan akademi / PT hanya 4.64 %.
Dengan kekuatan dan kelemahan yang ada di Surabaya ini, mampukah Surabaya lebih dewasa, tetap menjadi kota pahlawan, kota kenangan. [Unung Istopo]
Sumber :
http://enciety.com/blog/2008/10/29/menatap-surabaya-lebih-dewasa/
29 Oktober 2008
Kisah Busway di Surabaya
Menurut prakiraan melalui penilaian Bank Dunia tahun 1998, Kota Surabaya harus melakukan terobosan kebijakan transportasi. Apabila tidak, maka lalu lintas kota ini akan berjalan tersendat-sendat. Diprediksi, 2010 mendatang, jumlah kendaraan yang hilir mudik antar-kedua kota itu meningkat menjadi 535 unit kendaraan per hari.
Data Enciety Business Consult menunjukkan, pada dasarnya angkutan pribadi begitu menonjol dalam lima tahun terakhir. Di Jawa Timur, pertumbuhan angka kendaraan pribadi selalu di atas 10 persen. Pertumbuhan sepeda motor se-Jawa Timur sekitar 12-15 persen setahun dan mobil penumpang sekitar 8-10 persen setahun. Kalau melihat kendaraan umum secara keseluruhan, pertumbuhannya justru merosot. Artinya bukan waktunya lagi angkutan massal membiarkan kendaraan pribadi bertambah terlalu cepat dibandingkan kemampuan daya dukung dan daya tampung jalan yang ada.
Di balik itu, 47 persen energi dipakai untuk transportasi. Tentu situasi ini menjadikan beban yang paling besar untuk menyubsidi BBM. Dan untuk jangka panjang polusi yang ditimbulkan menjadi sangat tidak terkendali.
Namun kebijakan meminimalkan kendaraan pribadi tanpa perbaikan secara konsisten, komprehensif, dan total pada moda angkutan massal, tentu bukan kebijakan yang bijaksana. Seperti diberitakan www.jatim.go.id (12/2), Dishub meminta kepada Pemkot Surabaya untuk membuat aturan parkir yang bertujuan meminimalkan penggunaan kendaraan pribadi. Sudah saatnya, penggunaan mobil penumpang umum (MPU) di Surabaya ditingkatkan dengan penyediaan fasilitas yang mendukung. Pasalnya, masyarakat Surabaya dianggap masih sangat rendah dalam penggunaan angkutan umum.
Dalam Surabaya Urban Development Policy (SUDP) 2018, terdapat empat rencana besar Provinsi Jawa Timur yang disetujui Departemen Dalam Negeri. Proyek di bidang transportasi itu dibuat dalam upaya peningkatan perekonomian daerah.
Program pertama, pembangunan jalan tol dalam wilayah Surabaya (53 km) dan jalan tol yang menghubungkan Mojokerto (32 km). Total biaya investasi sebesar 367 juta dolar AS atau lebih dari Rp 3 triliun. Proyek kedua, pembangunan dan perbaikan jalan arteri dengan biaya 380 juta dolar AS, sekitar Rp 3,4 triliun. Program ini meliputi peningkatan jalan kota, jembatan, dan pelebaran jalan Gresik-Surabaya. Selain itu, perluasan pelabuhan Surabaya dan Gresik yang mencakup 900 hektare fasilitas pelabuhan, dengan biaya 675 juta dolar AS atau lebih dari Rp 6 triliun. Terakhir, bandara Juanda baru yang mengalami perluasan sekitar 100 hektare untuk landasan pacu dan fasilitas kargo.
Membuka Jalur Busway
Iskandar Abubakar, Dirjen Perhubungan Darat, menilai ada dua opsi untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di Surabaya. Kedua opsi itu adalah membangun jalan layang dan menggunakan bus rapid transit dengan busway. Solusi kedua lebih murah. Biayanya kurang lebih Rp 200 miliar. Pemerintah berusaha menggandeng pihak swasta untuk membiayai setengahnya. Diharapkan, pada akhir tahun 2008, Surabaya sudah memiliki busway.
Untuk tahap pertama (periode 2006-2009), koridor busway yang dibangun akan berujung di Bundaran Waru dan Jembatan Merah Plaza. Diperkirakan untuk koridor sepanjang 18 kilometer terdapat 27 halte dengan jarak antarhalte 1.100 meter - 1.600 meter. Sekitar 90 bus akan beroperasi pada pukul 05.00-22.00 WIB dengan harga tiket Rp 2.000- Rp2.500.
Pengadaan busway untuk mengatasi kepadatan lalu lintas Surabaya harus disertai tiga aspek, yaitu pelayanan angkutan menuju simpul busway yang baik, fasilitas parkir untuk pengguna kendaraan pribadi yang akan melanjutkan perjalanan dengan bus, dan demand management. Hal terakhir, yaitu demand management atau pengelolaan untuk mengurangi kendaraan pribadi, perlu dilakukan. Iskandar mencontohkan, di Jakarta demand management dilakukan dengan sistem 3 in 1 (minimal tiga penumpang dalam satu mobil) pada pagi dan sore hari.
Ujung-ujungnya, yang diharapkan pemerintah adalah keberpihakan masyarakat terhadap angkutan kendaraan umum akan meningkat. Tetapi kapan cita-cita itu tercapai? Jawabnya bergantung dari dua hal. Pertama, peningkatan performa secara terus-menerus pada angkutan umum kita baik dari segi fisik maupun nonfisik (keamanan, kenyamanan, dan ketepatan waktu).
Kedua, peningkatan secara terus-menerus atensi dan apresiasi masyarakat selaku konsumen angkutan massal. Peluncuran 20 bus DAMRI baru ber-AC dan bebas copet yang merupakan bentuk peremajaan dari total 70 bus DAMRI, perlu diintensifkan pada setiap lini dan moda angkutan publik kita.
Justru di sinilah gagasan busway yang berharga mahal itu menemui masalah. Seberapa jauh investasi dana dan pengembangan infrastruktur berjalan beriringan dengan investasi dan pengembangan faktor fisik dan nonfisik pada angkutan massal kita? Di satu sisi dana untuk investasi busway sangat besar. Di sisi lain, peremajaan armada bus, bemo, taksi sangat dibutuhkan setiap saat dan mendesak. Belum lagi jika kita memikirkan faktor nonfisik seperti keamanan dan kenyamanan.
Kesadaran Masyarakat
Meskipun kita melihat ada beberapa kendala yang belum terselesaikan, dan itu tidak semata-mata kendala soal dana tetapi juga perilaku masyarakat, maka patutlah kita menyambut rencana busway di Surabaya ini dengan pola kesadaran dan perilaku baru. Perilaku etika berlalu lintas semakin relevan untuk diterapkan. Kebut-kebutan, tidak mau mengalah, emosional, semakin penting untuk ditanggalkan dan digantikan oleh pengendalian diri.
Penerapan safety riding (penggunaan lampu di siang hari) ternyata mampu membantu menurunkan angka kecelakaan lalu-lintas di Jatim. Kecelakaan secara umum dalam data PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Jawa Timur menyebutkan, tahun 2006 angka meninggal akibat kecelakaan lalu lintas darat, laut, dan udara sebanyak 4,544 orang dengan total dana yang dikeluarkan 51,944,250.000. Jumlah ini menurun dibandingkan pada 2005 mencapai 5,265 orang meninggal, dengan total dana santunan yang dikeluarkan Rp 54, 878, 019,000.
Mentalitas busway yaitu cepat-lancar-aman, sebenarnya dapat diterapkan dalam moda berlalu lintas yang ada selama ini. Kegagalan penciptaan mentalitas busway dalam kondisi yang ada selama ini, dan akibatnya membutuhkan dana yang besar untuk membuat busway, merupakan tanda kegagalan kita mengendalikan diri ketika berada di jalan.
Kegagalan tersebut tampak dari berbagai segi, di antaranya, kegagalan mengelola angkutan umum yang murah, aman, dan nyaman, kegagalan mengendalikan diri untuk mengelola laju bisnis sektor otomotif, serta kegagalan kita menghargai sesama pengguna jalan. Alhasil, dana yang besar untuk investasi busway jugatidak dapat dipastikan akan mampu mengurai kemacetan di Surabaya.
Sumber :
Dewa Gde Satrya
Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Widya Kartika Surabaya
http://www1.surya.co.id/v2/?p=8340
3 Mei 2007
Data Enciety Business Consult menunjukkan, pada dasarnya angkutan pribadi begitu menonjol dalam lima tahun terakhir. Di Jawa Timur, pertumbuhan angka kendaraan pribadi selalu di atas 10 persen. Pertumbuhan sepeda motor se-Jawa Timur sekitar 12-15 persen setahun dan mobil penumpang sekitar 8-10 persen setahun. Kalau melihat kendaraan umum secara keseluruhan, pertumbuhannya justru merosot. Artinya bukan waktunya lagi angkutan massal membiarkan kendaraan pribadi bertambah terlalu cepat dibandingkan kemampuan daya dukung dan daya tampung jalan yang ada.
Di balik itu, 47 persen energi dipakai untuk transportasi. Tentu situasi ini menjadikan beban yang paling besar untuk menyubsidi BBM. Dan untuk jangka panjang polusi yang ditimbulkan menjadi sangat tidak terkendali.
Namun kebijakan meminimalkan kendaraan pribadi tanpa perbaikan secara konsisten, komprehensif, dan total pada moda angkutan massal, tentu bukan kebijakan yang bijaksana. Seperti diberitakan www.jatim.go.id (12/2), Dishub meminta kepada Pemkot Surabaya untuk membuat aturan parkir yang bertujuan meminimalkan penggunaan kendaraan pribadi. Sudah saatnya, penggunaan mobil penumpang umum (MPU) di Surabaya ditingkatkan dengan penyediaan fasilitas yang mendukung. Pasalnya, masyarakat Surabaya dianggap masih sangat rendah dalam penggunaan angkutan umum.
Dalam Surabaya Urban Development Policy (SUDP) 2018, terdapat empat rencana besar Provinsi Jawa Timur yang disetujui Departemen Dalam Negeri. Proyek di bidang transportasi itu dibuat dalam upaya peningkatan perekonomian daerah.
Program pertama, pembangunan jalan tol dalam wilayah Surabaya (53 km) dan jalan tol yang menghubungkan Mojokerto (32 km). Total biaya investasi sebesar 367 juta dolar AS atau lebih dari Rp 3 triliun. Proyek kedua, pembangunan dan perbaikan jalan arteri dengan biaya 380 juta dolar AS, sekitar Rp 3,4 triliun. Program ini meliputi peningkatan jalan kota, jembatan, dan pelebaran jalan Gresik-Surabaya. Selain itu, perluasan pelabuhan Surabaya dan Gresik yang mencakup 900 hektare fasilitas pelabuhan, dengan biaya 675 juta dolar AS atau lebih dari Rp 6 triliun. Terakhir, bandara Juanda baru yang mengalami perluasan sekitar 100 hektare untuk landasan pacu dan fasilitas kargo.
Membuka Jalur Busway
Iskandar Abubakar, Dirjen Perhubungan Darat, menilai ada dua opsi untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di Surabaya. Kedua opsi itu adalah membangun jalan layang dan menggunakan bus rapid transit dengan busway. Solusi kedua lebih murah. Biayanya kurang lebih Rp 200 miliar. Pemerintah berusaha menggandeng pihak swasta untuk membiayai setengahnya. Diharapkan, pada akhir tahun 2008, Surabaya sudah memiliki busway.
Untuk tahap pertama (periode 2006-2009), koridor busway yang dibangun akan berujung di Bundaran Waru dan Jembatan Merah Plaza. Diperkirakan untuk koridor sepanjang 18 kilometer terdapat 27 halte dengan jarak antarhalte 1.100 meter - 1.600 meter. Sekitar 90 bus akan beroperasi pada pukul 05.00-22.00 WIB dengan harga tiket Rp 2.000- Rp2.500.
Pengadaan busway untuk mengatasi kepadatan lalu lintas Surabaya harus disertai tiga aspek, yaitu pelayanan angkutan menuju simpul busway yang baik, fasilitas parkir untuk pengguna kendaraan pribadi yang akan melanjutkan perjalanan dengan bus, dan demand management. Hal terakhir, yaitu demand management atau pengelolaan untuk mengurangi kendaraan pribadi, perlu dilakukan. Iskandar mencontohkan, di Jakarta demand management dilakukan dengan sistem 3 in 1 (minimal tiga penumpang dalam satu mobil) pada pagi dan sore hari.
Ujung-ujungnya, yang diharapkan pemerintah adalah keberpihakan masyarakat terhadap angkutan kendaraan umum akan meningkat. Tetapi kapan cita-cita itu tercapai? Jawabnya bergantung dari dua hal. Pertama, peningkatan performa secara terus-menerus pada angkutan umum kita baik dari segi fisik maupun nonfisik (keamanan, kenyamanan, dan ketepatan waktu).
Kedua, peningkatan secara terus-menerus atensi dan apresiasi masyarakat selaku konsumen angkutan massal. Peluncuran 20 bus DAMRI baru ber-AC dan bebas copet yang merupakan bentuk peremajaan dari total 70 bus DAMRI, perlu diintensifkan pada setiap lini dan moda angkutan publik kita.
Justru di sinilah gagasan busway yang berharga mahal itu menemui masalah. Seberapa jauh investasi dana dan pengembangan infrastruktur berjalan beriringan dengan investasi dan pengembangan faktor fisik dan nonfisik pada angkutan massal kita? Di satu sisi dana untuk investasi busway sangat besar. Di sisi lain, peremajaan armada bus, bemo, taksi sangat dibutuhkan setiap saat dan mendesak. Belum lagi jika kita memikirkan faktor nonfisik seperti keamanan dan kenyamanan.
Kesadaran Masyarakat
Meskipun kita melihat ada beberapa kendala yang belum terselesaikan, dan itu tidak semata-mata kendala soal dana tetapi juga perilaku masyarakat, maka patutlah kita menyambut rencana busway di Surabaya ini dengan pola kesadaran dan perilaku baru. Perilaku etika berlalu lintas semakin relevan untuk diterapkan. Kebut-kebutan, tidak mau mengalah, emosional, semakin penting untuk ditanggalkan dan digantikan oleh pengendalian diri.
Penerapan safety riding (penggunaan lampu di siang hari) ternyata mampu membantu menurunkan angka kecelakaan lalu-lintas di Jatim. Kecelakaan secara umum dalam data PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Jawa Timur menyebutkan, tahun 2006 angka meninggal akibat kecelakaan lalu lintas darat, laut, dan udara sebanyak 4,544 orang dengan total dana yang dikeluarkan 51,944,250.000. Jumlah ini menurun dibandingkan pada 2005 mencapai 5,265 orang meninggal, dengan total dana santunan yang dikeluarkan Rp 54, 878, 019,000.
Mentalitas busway yaitu cepat-lancar-aman, sebenarnya dapat diterapkan dalam moda berlalu lintas yang ada selama ini. Kegagalan penciptaan mentalitas busway dalam kondisi yang ada selama ini, dan akibatnya membutuhkan dana yang besar untuk membuat busway, merupakan tanda kegagalan kita mengendalikan diri ketika berada di jalan.
Kegagalan tersebut tampak dari berbagai segi, di antaranya, kegagalan mengelola angkutan umum yang murah, aman, dan nyaman, kegagalan mengendalikan diri untuk mengelola laju bisnis sektor otomotif, serta kegagalan kita menghargai sesama pengguna jalan. Alhasil, dana yang besar untuk investasi busway jugatidak dapat dipastikan akan mampu mengurai kemacetan di Surabaya.
Sumber :
Dewa Gde Satrya
Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Widya Kartika Surabaya
http://www1.surya.co.id/v2/?p=8340
3 Mei 2007
Persebaya
Persatuan Sepak bola Surabaya (disingkat Persebaya) adalah sebuah tim sepak bola Indonesia yang berbasis di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia. Persebaya pada musim 2006 bermain di Divisi Satu Liga Indonesia.
Suporter Persebaya dikenal sebagai bonek (bondo nekat) dengan paradigma baru Para bonek terkenal akan dukungannya yang luar biasa sebagaimana kelompok suporter lain. Bonek biasa pergi ke stadion dengan bekal cukup, walaupun ke kandang lawan. Bonek biasa pula menghadang kereta api yang searah dengan tujuan berangkat meskipun menghadang tapi membayar dengan uang kontan.
Sejarah
Persebaya didirikan oleh Paijo dan M. Pamoedji pada 18 Juni 1927. Pada awal berdirinya, Persebaya bernama Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB). Pada saat itu di Surabaya juga ada klub bernama Sorabaiasche Voebal Bond (SVB), bonden (klub) ini berdiri pada tahun 1910 dan pemainnya adalah orang-orang Belanda yang ada di Surabaya.
Pada tanggal 19 April 1930, SIVB bersama dengan VIJ Jakarta, BIVB Bandung (sekarang Persib Bandung), MIVB (sekarang PPSM Magelang), MVB (PSM Madiun), VVB (Persis Solo), PSM (PSIM Yogyakarta) turut membidani kelahiran Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. SIVB dalam pertemuan tersebut diwakili oleh M. Pamoedji. Setahun kemudian kompetisi tahunan antar kota/perserikatan diselenggarakan. SIVB berhasil masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1938 meski kalah dari VIJ Jakarta.
Ketika Belanda kalah dari Jepang pada 1942, prestasi SIVB yang hampir semua pemainnya adalah pemain pribumi dan sebagian kecil keturunan Tionghoa melejit dan kembali mencapai final sebelum dikalahkan oleh Persis Solo. Akhirnya pada tahun 1943 SIVB berganti nama menjadi Persibaja (Persatuan Sepak Bola Indonesia Soerabaja). Pada era ini Persibaja diketuai oleh Dr. Soewandi. Kala itu, Persibaja berhasil meraih gelar juara pada tahun 1950, 1951 dan 1952.
Tahun 1960, nama Persibaja dirubah menjadi Persebaya (Persatuan Sepak Bola Surabaya). Pada era perserikatan ini, prestasi Persebaya juga istimewa. Persebaya adalah salah satu raksasa perserikatan selain PSMS Medan, PSM Makassar, Persib Bandung maupun Persija Jakarta. Dua kali Persebaya menjadi kampiun pada tahun 1978 dan 1988, dan tujuh kali menduduki peringkat kedua pada tahun 1965, 1967, 1971, 1973, 1977, 1987, dan 1990.
Prestasi gemilang terus terjaga ketika PSSI menyatukan klub Perserikatan dan Galatama dalam kompetisi bertajuk Liga Indonesia sejak 1994. Persebaya merebut gelar juara Liga Indonesia pada tahun 1997. Bahkan Persebaya berhasil mencetak sejarah sebagai tim pertama yang dua kali menjadi juara Liga Indonesia ketika pada tahun 2005 Green Force kembali merebut gelar juara. Kendati berpredikat sebagai tim klasik sarat gelar juara, Green Force juga sempat merasakan pahitnya terdegradasi pada tahun 2002 lalu. Pil pahit yang langsung ditebus dengan gelar gelar juara Divisi I dan Divisi Utama pada dua musim selanjutnya.
Pemain Terkenal
Persebaya juga dikenal sebagai klub yang sering menjadi penyumbang pemain ke tim nasional Indonesia baik yunior maupun senior. Sederet nama seperti Abdul Kadir, Rusdy Bahalwan, Rudy Keltjes, Didiek Nurhadi, Soebodro, Riono Asnan, Yusuf Ekodono, Syamsul Arifin, Subangkit, Mustaqim, Eri Irianto, Bejo Sugiantoro, Anang Ma'ruf, Hendro Kartiko, Uston Nawawi, Chairil Anwar, dan Mursyid Effendi merupakan sebagian pemain timnas hasil binaan Persebaya.
Salah satu yang cukup dikenang adalah Eri Irianto, pemain timnas era 1990-an yang meninggal dunia pada tanggal 3 April 2000 setelah tiba tiba menderita sakit saat Persebaya menghadapi PSIM Yogyakarta dalam pertandingan Divisi Utama Liga Indonesia 1999/2000. Eri Irianto meninggal di rumah sakit pada malam harinya. Nama Eri kemudian dipakai sebagai nama Wisma/Mess Persebaya yang diresmikan pada tanggal 25 April 1993.
Pada tahun ini Persebaya Surabaya telah mendapatkan pemain bintang asli Indonesia diantaranya : Wijay, Korinus Fingkreuw dari Sriwijaya FC, dan Supriyono dari Persija Jakarta. Dimana tiga pemain ini pernah membela Timnas Indonesia di ajang Internasional. Dan tak lupa Persebaya Surabaya telah mendatangkan pemain asing yang sangat bagus diantaranya : Ngon A Djam asal Kamerun, John Tarkpor Sonkaley yang juga Pemain Timnas Liberia, Josh Maguire asal Australia, Dan Defender senior asal Jepang Takatoshi Uchida.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Persebaya_Surabaya
Suporter Persebaya dikenal sebagai bonek (bondo nekat) dengan paradigma baru Para bonek terkenal akan dukungannya yang luar biasa sebagaimana kelompok suporter lain. Bonek biasa pergi ke stadion dengan bekal cukup, walaupun ke kandang lawan. Bonek biasa pula menghadang kereta api yang searah dengan tujuan berangkat meskipun menghadang tapi membayar dengan uang kontan.
Sejarah
Persebaya didirikan oleh Paijo dan M. Pamoedji pada 18 Juni 1927. Pada awal berdirinya, Persebaya bernama Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB). Pada saat itu di Surabaya juga ada klub bernama Sorabaiasche Voebal Bond (SVB), bonden (klub) ini berdiri pada tahun 1910 dan pemainnya adalah orang-orang Belanda yang ada di Surabaya.
Pada tanggal 19 April 1930, SIVB bersama dengan VIJ Jakarta, BIVB Bandung (sekarang Persib Bandung), MIVB (sekarang PPSM Magelang), MVB (PSM Madiun), VVB (Persis Solo), PSM (PSIM Yogyakarta) turut membidani kelahiran Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. SIVB dalam pertemuan tersebut diwakili oleh M. Pamoedji. Setahun kemudian kompetisi tahunan antar kota/perserikatan diselenggarakan. SIVB berhasil masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1938 meski kalah dari VIJ Jakarta.
Ketika Belanda kalah dari Jepang pada 1942, prestasi SIVB yang hampir semua pemainnya adalah pemain pribumi dan sebagian kecil keturunan Tionghoa melejit dan kembali mencapai final sebelum dikalahkan oleh Persis Solo. Akhirnya pada tahun 1943 SIVB berganti nama menjadi Persibaja (Persatuan Sepak Bola Indonesia Soerabaja). Pada era ini Persibaja diketuai oleh Dr. Soewandi. Kala itu, Persibaja berhasil meraih gelar juara pada tahun 1950, 1951 dan 1952.
Tahun 1960, nama Persibaja dirubah menjadi Persebaya (Persatuan Sepak Bola Surabaya). Pada era perserikatan ini, prestasi Persebaya juga istimewa. Persebaya adalah salah satu raksasa perserikatan selain PSMS Medan, PSM Makassar, Persib Bandung maupun Persija Jakarta. Dua kali Persebaya menjadi kampiun pada tahun 1978 dan 1988, dan tujuh kali menduduki peringkat kedua pada tahun 1965, 1967, 1971, 1973, 1977, 1987, dan 1990.
Prestasi gemilang terus terjaga ketika PSSI menyatukan klub Perserikatan dan Galatama dalam kompetisi bertajuk Liga Indonesia sejak 1994. Persebaya merebut gelar juara Liga Indonesia pada tahun 1997. Bahkan Persebaya berhasil mencetak sejarah sebagai tim pertama yang dua kali menjadi juara Liga Indonesia ketika pada tahun 2005 Green Force kembali merebut gelar juara. Kendati berpredikat sebagai tim klasik sarat gelar juara, Green Force juga sempat merasakan pahitnya terdegradasi pada tahun 2002 lalu. Pil pahit yang langsung ditebus dengan gelar gelar juara Divisi I dan Divisi Utama pada dua musim selanjutnya.
Pemain Terkenal
Persebaya juga dikenal sebagai klub yang sering menjadi penyumbang pemain ke tim nasional Indonesia baik yunior maupun senior. Sederet nama seperti Abdul Kadir, Rusdy Bahalwan, Rudy Keltjes, Didiek Nurhadi, Soebodro, Riono Asnan, Yusuf Ekodono, Syamsul Arifin, Subangkit, Mustaqim, Eri Irianto, Bejo Sugiantoro, Anang Ma'ruf, Hendro Kartiko, Uston Nawawi, Chairil Anwar, dan Mursyid Effendi merupakan sebagian pemain timnas hasil binaan Persebaya.
Salah satu yang cukup dikenang adalah Eri Irianto, pemain timnas era 1990-an yang meninggal dunia pada tanggal 3 April 2000 setelah tiba tiba menderita sakit saat Persebaya menghadapi PSIM Yogyakarta dalam pertandingan Divisi Utama Liga Indonesia 1999/2000. Eri Irianto meninggal di rumah sakit pada malam harinya. Nama Eri kemudian dipakai sebagai nama Wisma/Mess Persebaya yang diresmikan pada tanggal 25 April 1993.
Pada tahun ini Persebaya Surabaya telah mendapatkan pemain bintang asli Indonesia diantaranya : Wijay, Korinus Fingkreuw dari Sriwijaya FC, dan Supriyono dari Persija Jakarta. Dimana tiga pemain ini pernah membela Timnas Indonesia di ajang Internasional. Dan tak lupa Persebaya Surabaya telah mendatangkan pemain asing yang sangat bagus diantaranya : Ngon A Djam asal Kamerun, John Tarkpor Sonkaley yang juga Pemain Timnas Liberia, Josh Maguire asal Australia, Dan Defender senior asal Jepang Takatoshi Uchida.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Persebaya_Surabaya
Pariwisata Surabaya dan Entrepreneurship
Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya memiliki peranan penting dalam pariwisata RI, khususnya menyambut Visit Indonesia Year 2008. Upaya promosi di dalam dan luar negeri maupun perhelatan even dan atraksi pariwisata secara regular mulai gencar diadakan, terutama sejak terbentuknya Surabaya Tourism Promotion Board (STPB) akhir 2005.
Namun, beberapa obyek wisata masih tampak kotor, tidak terawat dan melakukan promosi asal-asalan. Memang setiap akhir pekan ataupun liburan, atempat-tempat wisata seperti Kenjeran, Kebun Binatang Surabaya, THR ataupun Monkasel dijubeli banyak pengunjung. Namun kebanyakan dari mereka adalah wisatawan domestik (wisdom). Jarang dijumpai wisatawan mancanegara (wisman) ada di tempat-tempat tersebut. Warga Surabaya sendiri jarang menjumpai wisatawan asing berjalan-jalan di jalan protokol di kota Surabaya, seperti halnya yang terjadi di Bali atau Yogya.
Sejauh ini, di Surabaya sudah ada banyak pengusaha yang bergerak di sektor pariwisata. Namun kebanyakan bergerak di bidang biro perjalanan wisata (BPW), travel agent, hotel dan restauran. Eksistensi mereka hanya berfokus untuk melayani keperluan wisatawan yang datang, wisman maupun wisdom, dan tidak menciptakan atraksi baru. Dampaknya, keberadaan wisatawan di Surabaya hanya dinikmati oleh sekelompok golongan tertentu. Masyarakat Surabaya secara umum tidak bisa merasakan dampak ekonomi secara langsung.
Penyebabnya antara lain, pertama, kurangnya variasi produk. Dengan kondisi potensi wisata alam dan budaya yang selama ini dimiliki Surabaya, tidak banyak pelaku pariwisata yang mampu membuat paket-paket tour yang menjual aset wisata kota Surabaya. Paket city tour yang seringkali dijual oleh BPW hanyalah mengunjungi tempat-tempat wisata di Surabaya tanpa memberi makna lebih di balik perjalanan itu, misalnya dengan memakai tema-tema dalam paketnya.
Sebagai perbandingan kota Melbourne, Australia, misalnya. Kota yang luasnya lebih kecil dari Surabaya itu, di dalamnya ada banyak paket wisata yang menjual kota dengan menggunakan tema yang beragam, seperti shopping tour, ghost tour (wisata hantu-hantu di malam hari), heritage tour (mengunjungi bangunan-bangunan tua), culinary tour (berkunjung ke tempat-tempat makan favorit), night life tour (melihat kota di malam hari) seperti berkunjung di Kebun Binatang atau Museum di malam hari, river tour (wisata sungai), museum tour, suburban tour (wisata ke kawasan-kawasan hunian yang unik), dan masih banyak paket tour lainnya. Uniknya satu tema tour bisa dilayani lebih dari 1 tour operator, sehingga kualitas layanan bisa bersaing dan mutunya terjamin
Di Surabaya, ada banyak hal yang bisa digali untuk membuat paket city tour. Surabaya utara dengan kekhasan bangunan tua, Pecinan, kampung Bubutan dan kampung Arab, bisa dijual dengan paket wisata budaya. Surabaya utara juga memiliki potensi khas dengan adanya pelabuhan tradisional Kalimas. Pengemasan Sungai Kalimas sebagai aset wisata kota Surabaya juga menjadi agenda yang mendesak. Sementara itu, keberadaan pusat-pusat perbelanjaan modern, menjadi pendukung paket wisata belanja. Berdasarkan pengamatan, selama ini kebanyakan paket yang dijual BPW adalah golf dan MICE (meeting, incentive, convention, exhibition). Memang tidak ada salahnya dengan wisata golf dan MICE. Namun dampak secara langsung bagi masyarakat umum sangatlah kecil, bahkan mungkin tidak ada.
Sumber :
Agoes.tinus
http://www.ciputra.org/node/92/pariwisata-surabaya-dan-entrepreneurship.htm
18 April 2008
Namun, beberapa obyek wisata masih tampak kotor, tidak terawat dan melakukan promosi asal-asalan. Memang setiap akhir pekan ataupun liburan, atempat-tempat wisata seperti Kenjeran, Kebun Binatang Surabaya, THR ataupun Monkasel dijubeli banyak pengunjung. Namun kebanyakan dari mereka adalah wisatawan domestik (wisdom). Jarang dijumpai wisatawan mancanegara (wisman) ada di tempat-tempat tersebut. Warga Surabaya sendiri jarang menjumpai wisatawan asing berjalan-jalan di jalan protokol di kota Surabaya, seperti halnya yang terjadi di Bali atau Yogya.
Sejauh ini, di Surabaya sudah ada banyak pengusaha yang bergerak di sektor pariwisata. Namun kebanyakan bergerak di bidang biro perjalanan wisata (BPW), travel agent, hotel dan restauran. Eksistensi mereka hanya berfokus untuk melayani keperluan wisatawan yang datang, wisman maupun wisdom, dan tidak menciptakan atraksi baru. Dampaknya, keberadaan wisatawan di Surabaya hanya dinikmati oleh sekelompok golongan tertentu. Masyarakat Surabaya secara umum tidak bisa merasakan dampak ekonomi secara langsung.
Penyebabnya antara lain, pertama, kurangnya variasi produk. Dengan kondisi potensi wisata alam dan budaya yang selama ini dimiliki Surabaya, tidak banyak pelaku pariwisata yang mampu membuat paket-paket tour yang menjual aset wisata kota Surabaya. Paket city tour yang seringkali dijual oleh BPW hanyalah mengunjungi tempat-tempat wisata di Surabaya tanpa memberi makna lebih di balik perjalanan itu, misalnya dengan memakai tema-tema dalam paketnya.
Sebagai perbandingan kota Melbourne, Australia, misalnya. Kota yang luasnya lebih kecil dari Surabaya itu, di dalamnya ada banyak paket wisata yang menjual kota dengan menggunakan tema yang beragam, seperti shopping tour, ghost tour (wisata hantu-hantu di malam hari), heritage tour (mengunjungi bangunan-bangunan tua), culinary tour (berkunjung ke tempat-tempat makan favorit), night life tour (melihat kota di malam hari) seperti berkunjung di Kebun Binatang atau Museum di malam hari, river tour (wisata sungai), museum tour, suburban tour (wisata ke kawasan-kawasan hunian yang unik), dan masih banyak paket tour lainnya. Uniknya satu tema tour bisa dilayani lebih dari 1 tour operator, sehingga kualitas layanan bisa bersaing dan mutunya terjamin
Di Surabaya, ada banyak hal yang bisa digali untuk membuat paket city tour. Surabaya utara dengan kekhasan bangunan tua, Pecinan, kampung Bubutan dan kampung Arab, bisa dijual dengan paket wisata budaya. Surabaya utara juga memiliki potensi khas dengan adanya pelabuhan tradisional Kalimas. Pengemasan Sungai Kalimas sebagai aset wisata kota Surabaya juga menjadi agenda yang mendesak. Sementara itu, keberadaan pusat-pusat perbelanjaan modern, menjadi pendukung paket wisata belanja. Berdasarkan pengamatan, selama ini kebanyakan paket yang dijual BPW adalah golf dan MICE (meeting, incentive, convention, exhibition). Memang tidak ada salahnya dengan wisata golf dan MICE. Namun dampak secara langsung bagi masyarakat umum sangatlah kecil, bahkan mungkin tidak ada.
Sumber :
Agoes.tinus
http://www.ciputra.org/node/92/pariwisata-surabaya-dan-entrepreneurship.htm
18 April 2008
Pariwasata Surabaya Dengan Kapal Pesiar
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya akan bekerjasama dengan pihak asing atau luar negeri dalam bidang transportasi khususnya "Cruise Ship" (kapal pesiar), dengan tujuan mengoptimalkan Surabaya sebagai salah satu kota tujuan wisata.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disparta) Kota Surabaya, Wiwiek Widyawati, di Surabaya, Selasa, mengatakan pihaknya sudah meyakinkan diri membawa kapal pesiar dari luar negeri tersebut ke Surabaya. "Tanggal 19 November ini ada pertemuan di Bali antara pemkot dan operator "Cruise Ship" dari Jerman dan Australia untuk membahas itu," ungkap Wiwiek
Menurut Wiwiek, keinginan enawarkan Surabaya menjadi salah satu tujuan wisata sudah direspons pihak PT (Persero) Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Perak Surabaya. Rencananya kapal pesiar tersebut akan mangkal di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya."Pelindo sudah siap karena memiliki standar internasional sedangkan kami hanya bertugas menawari paket wisatanya," imbuh Wiwiek.
Kapal pesiar tersebut, kata Wiwiek, akan membawa sekitar 300-500 penumpang yang terdiri dari para wisatawan asing yang sengaja datang ke Indonesia untuk berlibur.
Ia mengungkapkan pihaknya dalam waktu dekat ini akan mengoptimalkan sejumlah obyek wisata di Surabaya diantaranya pantai Kenjeran, Kebun Binatang Surabaya (KBS), Taman Bungkul, Taman Apsari, dan lainya. Untuk mempromosikan obyek wisata di Surabaya, menurut Wiwiek, bisa dilakukan dengan melestarikan nilai sejarah seperti makanan tradisional, sejarah, dan bangunan bersejarah./ant/it
Sumber :
http://www.republika.co.id/berita/15125/Pariwasata_Surabaya_Dengan_Kapal_Pesiar
19 November 2008
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disparta) Kota Surabaya, Wiwiek Widyawati, di Surabaya, Selasa, mengatakan pihaknya sudah meyakinkan diri membawa kapal pesiar dari luar negeri tersebut ke Surabaya. "Tanggal 19 November ini ada pertemuan di Bali antara pemkot dan operator "Cruise Ship" dari Jerman dan Australia untuk membahas itu," ungkap Wiwiek
Menurut Wiwiek, keinginan enawarkan Surabaya menjadi salah satu tujuan wisata sudah direspons pihak PT (Persero) Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Perak Surabaya. Rencananya kapal pesiar tersebut akan mangkal di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya."Pelindo sudah siap karena memiliki standar internasional sedangkan kami hanya bertugas menawari paket wisatanya," imbuh Wiwiek.
Kapal pesiar tersebut, kata Wiwiek, akan membawa sekitar 300-500 penumpang yang terdiri dari para wisatawan asing yang sengaja datang ke Indonesia untuk berlibur.
Ia mengungkapkan pihaknya dalam waktu dekat ini akan mengoptimalkan sejumlah obyek wisata di Surabaya diantaranya pantai Kenjeran, Kebun Binatang Surabaya (KBS), Taman Bungkul, Taman Apsari, dan lainya. Untuk mempromosikan obyek wisata di Surabaya, menurut Wiwiek, bisa dilakukan dengan melestarikan nilai sejarah seperti makanan tradisional, sejarah, dan bangunan bersejarah./ant/it
Sumber :
http://www.republika.co.id/berita/15125/Pariwasata_Surabaya_Dengan_Kapal_Pesiar
19 November 2008
Sejarah Surabaya
Surabaya secara resmi berdiri pada tahun 1293. Tanggal peristiwa yang diambil adalah kemenangan Raden Wijaya, Raja pertama Mojopahit melawan pasukan Cina.
Peranan Surabaya sebagai kota pelabuhan sangat penting sejak lama. Saat itu sungai Kalimas merupakan sungai yang dipenuhi perahu-perahu yang berlayar menuju pelosok Surabaya.
Kota Surabaya juga sangat berkaitan dengan revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat Surabaya (Arek Suroboyo) bertempur habis-habisan untuk merebut kemerdekaan. Puncaknya pada tanggal 10 Nopember 1945, Arek Suroboyo berhasil menduduki Hotel Oranye (sekarang Hotel Mojopahit) yang saat itu menjadi simbol kolonialisme. Karena kegigihannya itu, maka setiap tanggal 10 Nopember, Indonesia memperingatinya sebagai hari Pahlawan.
Bukti sejarah menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, seperti yang tercantum dalam prasasti Trowulan I berangka 1358 M. Dalam prasasti tersebut terungkap bahwa Surabaya (Churabhaya) masih berupa desa ditepian sungai Berantas sebagai salah satu tempat penyeberangan penting sepanjang sungai tersebut.
Surabaya (Churabhaya) juga tercantum dalam pujasastra Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca tentang perjalanan pesiar baginda Hayam Wuruk pada tahun 1385 M dalam pupuh XVII (bait ke 5, baris terakhir)
Walaupun bukti tertulis tertua mencantumkan nama Surabaya berangka tahun 1358 M Pprasasti Trowulan) dan 1365 M (Negara Kertagama), para ahli menduga bahwa Surabaya sudah ada sebelum tahun-tahun tersebut.
Menurut hipotesis Von Faber, Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Hipotesis yang lain mengatakan bahwa Surabaya dulu bernama Ujung Galuh.
Versi lain mengatakan bahwa nama Surabaya berasal dari cerita tentang perkelahian hidup dan mati Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon setelah mengalahkan tentara Tartar, Raden Wijaya mendirikan sebuah Keraton di Ujung Galuh dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu. Lama-lama karena menguasai ilmu Buaya, Jayengrono makin kuat dan mandiri sehingga mengancam kedaulatan Majapahit. Untuk menaklukkan Jayengrono diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura. Adu kekuatan dilakukan dipinggir sungai Kalimas dekat Peneleh. Perkelahian adu kesaktian itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dan berakhir dengan tragis, karena keduanya meninggal kehabisan tenaga.
Kata “ SURABAYA “ juga sering diartikan secara filosofis sebagai lambang perjuangan antara darat dan air, antara tanah dan air. Selain itu dari kata Surabaya juga muncul mitos pertempuran antara ikan Suro (Sura) dan Boyo (Baya atau Buaya), yang menimbulkan dugaan bahwa nama Surabaya muncul setelah terjadinya peperangan antara ikan Sura dan Buaya (Baya)
Supaya tidak menimbulkan kesimpang-siuran dalam masyarakat maka Walikotamdya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, dijabat oleh Bapak Soeparno, mengeluarkan Surat Keputusan No. 64/WK/75 tentang penetapan hari jadi kota Surabaya. Surat Keputusan tersebut menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai tanggal hari jadi kota Surabaya. Tanggal tersebut ditetapkan atas kesepakatan sekelompok sejarahwan yang dibentuk oleh Pemerintah Kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata “Sura ing Bhaya” yang berarti “ Keberanian menghadapi bahaya “ diambil dari babak dikalahkannya pasukan Mongol oleh pasukan Jawa pimpinan Raden Wijaya pada tanggal 31 Mei 1293.
Tentang simbol kota Surabaya yang berupa ikan Sura dan Buaya terdapat banyak sekali cerita. Salah satu yang terkenal tentang pertarungan ikan Sura dan Buaya diceritakan oleh LCR. Breeman seorang pimpinan Nutspaarbank di Surabaya pada tahun 1918.
Masih banyak cerita lain tentang makna dan semangat Surabaya. Semuanya mengilhami pembuatan lambang-lambang Kota Surabaya. Lambang kota Surabaya yang berlaku sampai saat ini ditetapkan oleh DPDRS kota besar Surabaya yang keputusan No. 34/DPRS tanggal 19 Juni 1955 diperkuat dengan Keputusan Presiden R.I No. 193 tahun 1955 tanggal 14 Desember 1956.
Sumber :
http://surabayacity.wordpress.com/2007/12/26/sejarah-surabaya/
26 Desember 2007
Peranan Surabaya sebagai kota pelabuhan sangat penting sejak lama. Saat itu sungai Kalimas merupakan sungai yang dipenuhi perahu-perahu yang berlayar menuju pelosok Surabaya.
Kota Surabaya juga sangat berkaitan dengan revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat Surabaya (Arek Suroboyo) bertempur habis-habisan untuk merebut kemerdekaan. Puncaknya pada tanggal 10 Nopember 1945, Arek Suroboyo berhasil menduduki Hotel Oranye (sekarang Hotel Mojopahit) yang saat itu menjadi simbol kolonialisme. Karena kegigihannya itu, maka setiap tanggal 10 Nopember, Indonesia memperingatinya sebagai hari Pahlawan.
Bukti sejarah menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, seperti yang tercantum dalam prasasti Trowulan I berangka 1358 M. Dalam prasasti tersebut terungkap bahwa Surabaya (Churabhaya) masih berupa desa ditepian sungai Berantas sebagai salah satu tempat penyeberangan penting sepanjang sungai tersebut.
Surabaya (Churabhaya) juga tercantum dalam pujasastra Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca tentang perjalanan pesiar baginda Hayam Wuruk pada tahun 1385 M dalam pupuh XVII (bait ke 5, baris terakhir)
Walaupun bukti tertulis tertua mencantumkan nama Surabaya berangka tahun 1358 M Pprasasti Trowulan) dan 1365 M (Negara Kertagama), para ahli menduga bahwa Surabaya sudah ada sebelum tahun-tahun tersebut.
Menurut hipotesis Von Faber, Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Hipotesis yang lain mengatakan bahwa Surabaya dulu bernama Ujung Galuh.
Versi lain mengatakan bahwa nama Surabaya berasal dari cerita tentang perkelahian hidup dan mati Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon setelah mengalahkan tentara Tartar, Raden Wijaya mendirikan sebuah Keraton di Ujung Galuh dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu. Lama-lama karena menguasai ilmu Buaya, Jayengrono makin kuat dan mandiri sehingga mengancam kedaulatan Majapahit. Untuk menaklukkan Jayengrono diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura. Adu kekuatan dilakukan dipinggir sungai Kalimas dekat Peneleh. Perkelahian adu kesaktian itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dan berakhir dengan tragis, karena keduanya meninggal kehabisan tenaga.
Kata “ SURABAYA “ juga sering diartikan secara filosofis sebagai lambang perjuangan antara darat dan air, antara tanah dan air. Selain itu dari kata Surabaya juga muncul mitos pertempuran antara ikan Suro (Sura) dan Boyo (Baya atau Buaya), yang menimbulkan dugaan bahwa nama Surabaya muncul setelah terjadinya peperangan antara ikan Sura dan Buaya (Baya)
Supaya tidak menimbulkan kesimpang-siuran dalam masyarakat maka Walikotamdya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, dijabat oleh Bapak Soeparno, mengeluarkan Surat Keputusan No. 64/WK/75 tentang penetapan hari jadi kota Surabaya. Surat Keputusan tersebut menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai tanggal hari jadi kota Surabaya. Tanggal tersebut ditetapkan atas kesepakatan sekelompok sejarahwan yang dibentuk oleh Pemerintah Kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata “Sura ing Bhaya” yang berarti “ Keberanian menghadapi bahaya “ diambil dari babak dikalahkannya pasukan Mongol oleh pasukan Jawa pimpinan Raden Wijaya pada tanggal 31 Mei 1293.
Tentang simbol kota Surabaya yang berupa ikan Sura dan Buaya terdapat banyak sekali cerita. Salah satu yang terkenal tentang pertarungan ikan Sura dan Buaya diceritakan oleh LCR. Breeman seorang pimpinan Nutspaarbank di Surabaya pada tahun 1918.
Masih banyak cerita lain tentang makna dan semangat Surabaya. Semuanya mengilhami pembuatan lambang-lambang Kota Surabaya. Lambang kota Surabaya yang berlaku sampai saat ini ditetapkan oleh DPDRS kota besar Surabaya yang keputusan No. 34/DPRS tanggal 19 Juni 1955 diperkuat dengan Keputusan Presiden R.I No. 193 tahun 1955 tanggal 14 Desember 1956.
Sumber :
http://surabayacity.wordpress.com/2007/12/26/sejarah-surabaya/
26 Desember 2007
Sejarah Surabaya Periode 1600
Pada tahun 1612 Surabaya sudah merupakan bandar perdagangan yang ramai. Banyak pedagang Portugis membeli rempah-rempah dari pedagang pribumi. Pedagang pribumi membeli rempah-rempah secara sembunyi-sembunyi dari Banda, meskipun telah ada persetujuan dengan VOC yang melarang orang-orang Banda berdagang untuk kepentingannya sendiri.
Setelah tahun 1625 Surabaya jatuh ke tangan kerajaan Mataram. Setelah takluk dari kerajaan Mataram, tahun 1967 Surabaya mengalami kekacauan akibat serangan para bajak laut yang berasal dari Makasar. Pada saat keadaan tidak menentu inilah muncul nama Trunojoyo, seorang pangeran dari Mataram dari suku Madura, yang memberontak terhadap Raja Mataram. Dengan pertolongan orang-orang Makasar Trunojoyo berhasil menguasai Madura dan Surabaya.
Di bawah kekuasaan Trunojoyo, Surabaya menjadi pelabuhan transit dan tempat penimbunan barang-barang dari daerah subur, yaitu delta Brantas. Kalimas menjadi "sungai emas" yang membawa barang-barang berharga dari pedalaman.
Dengan alasan ingin membantu Mataram, pada tahun 1677 Kompeni mengirim Cornelis Speelman yang dilengkapi dengan angkatan perang yang besar ke Surabaya. Benteng Trunojoyo akhirnya dapat dikuasai Speelman. Kemudian Gubernur Jenderal Couper mengembalikan Surabaya kepada Mataram.
Pada abad 18, tahun 1706, Surabaya menjadi ajang pertempuran antara Kompeni dibawah pimpinan Govert Knol dan Untung Surapati.
Setelah peperangan terus menerus, tanggal 11 Nopember 1743 Paku Buwono II dari kerajaan Mataram dan Gubernur Jenderal Van Imhoff di Surakarta menanda-tangani sebuah persetujuan yang menyatakan bahwa ia menyerahkan haknya atas pantai utara Pulau Jawa dan Madura(termasuk diantaranya diSurabaya) kepada pihak VOC yang telah memberikan bantuan hingga ia berhasil naik tahta di kerajaan Mataram.Tetapi pasukan Hindia Belanda baru mengunjungi Surabaya pada tanggal 11-April-1746.
VOC mendirikan struktur pemerintahan baru di daerah pantai utara Pulau Jawa dan Madura dengan kedudukan gubernur di Semarang. Di Surabaya diangkat seorang Gezaghebber in den Oostthoek (Penguasa Bagian Timur Pulau Jawa).
Antara Tahun 1794-1798 Penguasa Bagian Timur Pulau Jawa adalah Dirk van Hogendorp. Pada tanggal 6 September 1799, Fredrick Jacob Rothenbuhler menggantikan Van Hogendorp berkuasa sampai tahun 1809. Pada tahun 1807 Surabaya mendapat Serangan dari angkatan laut Inggris di bawah pimpinan Admiral Pillow yang akhirnya meninggalkan Surabaya.
Setelah kebangkrutan VOC, Hindia Belanda diserahkan kepada pemerintah Belanda. Tahun 1808-1811 Surabaya di bawah pemerintahan langsung Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang menjadikan Surabaya sebagai kota Eropa kecil. Surabaya dibangun menjadi kota dagang sekaligus kota benteng.
Tahun 1811-1816 Surabaya berada dibawah kekuasaan Inggris yang dijabat oleh Raffles. Tahun 1813 Surabaya menjadi sebuah kota yang dapat dibanggakan, sampai-sampai William Thorn dalam buku Memoir of Conguest of Java berpendapat bahwa Kota Gresik (pada masa sebelumnya menjadi kota pelabuhan yang ramai) sudah menjadi kuno bila dibandingkan dengan Surabaya.
Setelah itu Surabaya kembali dikuasai Belanda. Tahun 1830-1850, Surabaya betul-betul berbentuk sebagai kota benteng dengan benteng Prins Hendrik ada di muara Kalimas. Pada tahun 1870, Surabaya terus berkembang ke selatan menjadi kota modern.
Sumber :
Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940, Andi, Yogyakarta, 1996 dalam :
http://www.surabaya.go.id/sejarah.php?page=periode_1600
Setelah tahun 1625 Surabaya jatuh ke tangan kerajaan Mataram. Setelah takluk dari kerajaan Mataram, tahun 1967 Surabaya mengalami kekacauan akibat serangan para bajak laut yang berasal dari Makasar. Pada saat keadaan tidak menentu inilah muncul nama Trunojoyo, seorang pangeran dari Mataram dari suku Madura, yang memberontak terhadap Raja Mataram. Dengan pertolongan orang-orang Makasar Trunojoyo berhasil menguasai Madura dan Surabaya.
Di bawah kekuasaan Trunojoyo, Surabaya menjadi pelabuhan transit dan tempat penimbunan barang-barang dari daerah subur, yaitu delta Brantas. Kalimas menjadi "sungai emas" yang membawa barang-barang berharga dari pedalaman.
Dengan alasan ingin membantu Mataram, pada tahun 1677 Kompeni mengirim Cornelis Speelman yang dilengkapi dengan angkatan perang yang besar ke Surabaya. Benteng Trunojoyo akhirnya dapat dikuasai Speelman. Kemudian Gubernur Jenderal Couper mengembalikan Surabaya kepada Mataram.
Pada abad 18, tahun 1706, Surabaya menjadi ajang pertempuran antara Kompeni dibawah pimpinan Govert Knol dan Untung Surapati.
Setelah peperangan terus menerus, tanggal 11 Nopember 1743 Paku Buwono II dari kerajaan Mataram dan Gubernur Jenderal Van Imhoff di Surakarta menanda-tangani sebuah persetujuan yang menyatakan bahwa ia menyerahkan haknya atas pantai utara Pulau Jawa dan Madura(termasuk diantaranya diSurabaya) kepada pihak VOC yang telah memberikan bantuan hingga ia berhasil naik tahta di kerajaan Mataram.Tetapi pasukan Hindia Belanda baru mengunjungi Surabaya pada tanggal 11-April-1746.
VOC mendirikan struktur pemerintahan baru di daerah pantai utara Pulau Jawa dan Madura dengan kedudukan gubernur di Semarang. Di Surabaya diangkat seorang Gezaghebber in den Oostthoek (Penguasa Bagian Timur Pulau Jawa).
Antara Tahun 1794-1798 Penguasa Bagian Timur Pulau Jawa adalah Dirk van Hogendorp. Pada tanggal 6 September 1799, Fredrick Jacob Rothenbuhler menggantikan Van Hogendorp berkuasa sampai tahun 1809. Pada tahun 1807 Surabaya mendapat Serangan dari angkatan laut Inggris di bawah pimpinan Admiral Pillow yang akhirnya meninggalkan Surabaya.
Setelah kebangkrutan VOC, Hindia Belanda diserahkan kepada pemerintah Belanda. Tahun 1808-1811 Surabaya di bawah pemerintahan langsung Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang menjadikan Surabaya sebagai kota Eropa kecil. Surabaya dibangun menjadi kota dagang sekaligus kota benteng.
Tahun 1811-1816 Surabaya berada dibawah kekuasaan Inggris yang dijabat oleh Raffles. Tahun 1813 Surabaya menjadi sebuah kota yang dapat dibanggakan, sampai-sampai William Thorn dalam buku Memoir of Conguest of Java berpendapat bahwa Kota Gresik (pada masa sebelumnya menjadi kota pelabuhan yang ramai) sudah menjadi kuno bila dibandingkan dengan Surabaya.
Setelah itu Surabaya kembali dikuasai Belanda. Tahun 1830-1850, Surabaya betul-betul berbentuk sebagai kota benteng dengan benteng Prins Hendrik ada di muara Kalimas. Pada tahun 1870, Surabaya terus berkembang ke selatan menjadi kota modern.
Sumber :
Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940, Andi, Yogyakarta, 1996 dalam :
http://www.surabaya.go.id/sejarah.php?page=periode_1600
Langganan:
Postingan (Atom)