Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia bukan tidak mungkin akan menjadi Jakarta kedua dengan kompleksitas permasalahan yang tinggi. Perencanaan pembangunan yang tak ramah lingkungan dan terkesan amburadul bahkan semrawut menghasilkan kemacetan, kekumuhan, keruwetan yang pada prosesnya menghasilkan kebijakan tambal sulam dan tumpang tindih. Kesemuanya berujung pada kerawanan sosial yang berpotensi melahirkan psikologis sosial masyarakat yang sakit.
Surabaya sebagai pusat ekonomi Indonesia bagian timur melalui pemerintah kotanya mencanangkan ekonomi sebagai ujung tombak dengan titik berat di sektor perdagangan, industri dan jasa. Diterima atau tidak, hal ini berimplikasi besar pada pertumbuhan penduduk Surabaya, migrasi besar-besaran dari daerah sekitarnya seperti mimpi desa yang mengagungkan Jakarta sebagai sarana meraih mimpi kesejahteraan ekonomi.
Sebelum jauh melangkah, sebenarnya tema ini terlalu besar untuk tulisan sependek ini, karena itu butuh pembahasan yang berkesinambungan dari segala sisi dalam memotret Surabaya agar tidak menjadi Jakarta kedua.
Sebagai gambaran, pada tayangan news.com, di Metro TV yang lupa edisi tayangnya kapan, menyoal Jakarta yang gencar melakukan razia KTP yang menurut pengakuan PEMDA DKI merupakan pemeriksaan reguler untuk pendatang dari luar Jakarta yang meningkat drastis setiap usai lebaran. Salah satu panelis, yang juga lupa namanya, menyatakan bahwa Jakarta terlalu serakah untuk sekedar meredistribusi rejeki ke daerah atau kota lain dan itu menjadikannya magnet terbesar bagi para pendatang untuk menyerbu Jakarta. Sekedar diketahui, peredaran uang di Indonesia 60% berada di Jakarta, sisanya dibagi ke seluruh wilayah Indonesia. Iklim ekonomi yang tidak sehat menurut para pakar ekonomi.
Daya tarik magnet yang luar biasa inilah yang perlu mendapat perhatian serius. Mengapa? Bisa jadi ketika wacana pemisahan pusat ekonomi dengan pusat pemerintahan direalisasi, Surabaya bukan tidak mungkin menjadi pilihan yang paling realistis. Berkiblat ke Amerika yang selama ini menjadi acuan primer, pusat pemerintahan berada di Washington D.C., kota yang relatif sepi dibandingkan dengan pusat ekonomi seperti New York. Mengapa dipisah? Sepatutnya dipisah karena menghindari seminimal mungkin kepentingan ekonomi mempengaruhi keputusan politik. Kenyataan yang terjadi di Indonesia menunjukkan dengan gamblang bagaimana produk-produk dan keputusan politik, hukum dibuat karena intervensi kepentingan ekonomi yang demikian dominan.
Apa relevansinya dengan Surabaya? Tak bisa dipungkiri, Surabaya merupakan pusat ekonomi kedua, terutama untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Tanpa wacana pemisahan di atas saja, Surabaya sudah memiliki kompleksitas masalah yang mendekati Jakarta, terlebih jika wacana tersebut terjadi, dan Surabaya menjadi pusat ekonomi utama di Indonesia, bisa dibayangkan bagaimana keadaan Surabaya.
Untuk menghindari Surabaya menjadi Jakarta kedua, sebaiknya Surabaya segera berbenah, target-target pembangunan yang dititikberatkan pada sektor perdagangan, industri dan jasa jangan sampai mengabaikan tata kota dan lingkungan, tak mengorbankan kesejahteraan dan kenyamanan warga untuk pencapaian target angka-angka pertumbuhan ekonomi daerah. Surabaya harus lebih arif dalam meredistribusi rejeki ke daerah-daerah lain agar tidak menjadi magnet bagi para pendatang. Pemerintah daerah tingkat I harus lebih proaktif menggali potensi daerah-daerah yang layak dijadikan kantong ekonomi baru untuk menggiatkan ekonomi di daerah juga untuk menghambat arus urbanisasi.
Bukankah UUD mengamanatkan setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan penghidupan yang layak? Mari dengan arif meredistribusi rejeki.
Sumber :
Gempur
http://tugupahlawan.com/247/menolak-surabaya-menjadi-jakarta-kedua/
Senin, 30 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar